Jakarta (ANTARA News) – Dunia maya atau internet telah menjadi kendaraan utama pelaku terorisme untuk mempersiapkan aksi serta merekrut pengikut, kata Deputi 1 bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi BNPT Mayjen TNI Abdul Rahman Kadir.
“Dunia maya mudah diakses, tidak ada kontrol, regulasi, dan aturan. Audiens luas bahkan bisa anonim, langsung komunikasi, murah, multimedia, kemudian kalau kita lihat internet sudah jadi sumber pemberitaan dan kebutuhan kita,” kata Abdul Kadir, dikutip dari siaran pers.
Berbagai fasilitas dan kemudahan itulah yang melatarbelakangi radikalisme merambah dunia maya, memanfaatkan jejaring sosial dan media, dengan sasaran kaum muda dan penggiat dunia maya, katanya pada Public Lecture Pencegahan Paham Radikal Terorisme di Akademi Angkatan Udara (AAU) Yogyakarta, Rabu,
Forum ini dihadiri kurang lebih 700 peserta dari taruna angkatan darat, laut, udara, dan Polri, mahasiswa, pelajar, jajaran SKPD DI Yogyakarta, dan perwakilan organisasi masyarakat. Hadir pula Sekretaris Utama Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Mayjen TNI R Gautama Wiranegara mewakili Kepala BNPT Komjen Pol Suhardi Alius.
Kemajuan teknologi informasi juga mengubah pola propaganda kelompok radikal dari cara-cara konvensial ke cara-cara yang mereka gunakan sekarang, yaitu memanfaatkan media dan dunia maya.
“Dulu terorisme melakukan rekrutmen melalui hubungan kekeluargaan, pertemanan, ketokohan, dan lembaga keagamaan. Mereka harus tatap muka untuk melakukan indoktrinasi, rekrutmen, pembaiatan. Sekarang beda, terorisme sudah menggunakan website, medsos, social messenger,” katanya.
Salah satu bukti pola itu adalah pelaku yang siap melakukan aksi bom bunuh diri di Istana Negara yang tertangkap di Bintara, Bekasi. Pelaku itu, seorang perempuan, dibaiat melalui online, setelah itu menikah secara online pula.
Kalau awalnya kelompok radikal menggunakan website untuk propaganda, kata Abdul Rahman, maka begitu muncul media chatting, mereka ikut beralih, bahkan sampai ke game online. Belum lagi setelah media sosial muncul, dan terakhir social messenger.
“Intinya, kelompok teroris menggunakan internet untuk melakukan perang psikologis, propaganda, pengumpulan dana dan data, serta berdiskusi antarmereka,” kata mantan Danrem 074/Warastratama Solo ini.
Saat ini, lanjut Abdul Rahman, terorisme bukan sekadar persoalan lokal, tapi sudah menjadi persoalan seluruh bangsa di dunia.
“Seluruh bangsa tidak ada lagi yang imun terhadap pengaruh paham radikal terorisme. Dulu terorisme hanya ada di belahan dunia tertentu, sekarang sudah menyebar ke seluruh dunia,” katanya.